Senin, 03 Januari 2011

PENDIDIKAN KARAKTER MENUJU KEUNGGULAN BANGSA

PENDIDIKAN KARAKTER MENUJU KEUNGGULAN BANGSA
Oleh: Yudi Latif*
Melebihi dugaan semula para ahli, krisis multidimensional yang mendera Indonesia saat ini bukanlah sembarang krisis yang bisa dihadapi secara tambal sulam. Krisis ini begitu luas cakupannya dan dalam penetrasinya, menyerupai situasi ”zaman peralihan” (axial age) dalam gambaran Karen Armstrong (2006). Zaman jahiliyah (kalabendu) yang penuh prahara, pertikaian, kedunguan, kehancuran tata nilai dan keteladanan. 
Sekitar delapan dekade yang lalu, Mohandas K. Gandhi menengarai adanya ancaman yang mematikan dari “tujuh dosa sosial”: ‘politik tanpa prinsip, kekayaan tanpa kerja keras, perniagaan tanpa moralitas, kesenangan tanpa nurani, pendidikan tanpa karakter, sains tanpa humanitas, dan peribadatan tanpa pengorbanan’. Ketujuh dosa ini sekarang telah menjadi warna dasar dari kehidupan kita. Kehidupan kota (polis) yang mestinya menjadi basis keberadaban (madani) terjerumus ke dalam apa yang disebut Machiavelli sebagai “kota korup” (citta corrottisima), atau apa yang disebut Al-Farabi sebagai “kota jahiliyah” (almudun al-jahiliyyah). 

Di republik korup dan jahil, persahabatan madani sejati hancur. Tiap warga berlomba mengkhianati negerinya atau temannya; kepercayaan mutual lenyap karena sumpah dan keimanan disalahgunakan; hukum atau institusi lumpuh tak mampu meredam perluasan korupsi; yang muda malas, yang tua gatal; kedua jenis kelamin dari segala umur penuh budaya jorok. Ketamakan dan hasrat meraih kehormatan rendah merajalela. Akhirnya timbul kematian dan pengasingan: kebaikan dimusuhi, kejahatan diagungkan.

Kehidupan publik kita merefleksikan nilai-nilai moralitas kita, demikian pula sebaliknya. Sebegitu jauh, kehidupan politik selama ini lebih merefleksikan nilai-nilai buruk, dan kurang mengaktualisasikan nilai-nilai luhur masyarakat. Praktik politik di negeri ini telah direduksi sekadar menjadi perjuangan kuasa (demi kuasa) ketimbang sebagai proses pencapaian kebajikan bersama. Politik dan etika terpisah seperti terpisahnya air dengan minyak. Akibatnya kebajikan dasar kehidupan bangsa seperti sipilitas, responsibilitas, keadilan dan integritas runtuh. 

Akutnya krisis yang kita hadapi mengisyaratkan bahwa untuk memulihkannya kita memerlukan lebih dari sekadar politics as usual. Kita memerlukan visi politik baru. Peribahasa mengatakan, ”where there is no vision, the people perish.” Visi ini harus mempertimbangkan kenyataan bahwa krisis nasional ini berakar jauh pada penyakit spirit dan moralitas yang melanda jiwa bangsa. Suatu usaha “national healing” perlu dilakukan dengan membawa nilai-nilai spiritual dan etis ke dalam wacana publik. Dengan kata lain, kita memerlukan penguatan etika politik dan pertanggungjawaban moral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Penguatan etika dalam kehidupan publik ini pada gilirannya harus berakar kuat pada proses persemaian dan pembudayaan dalam sistem pendidikan. Proses pendidikan sejak dini, baik secara formal, non-formal maupun informal, menjadi tumpuan untuk melahirkan manusia baru Indonesia dengan karakter yang kuat. Karakter yang mencerminkan kualitas kepribadian dan merit. Yakni kepribadian yang terkait dengan kapasitas moral seseorang, seperti keterpercayaan dan kejujuran; serta kekhasan kualitas seseorang yang membedakan dirinya dari orang lain, yang membuatnya berkemampuan menghadapi kesulitan, ketidakenakan dan kegawatan (aktualitas potensi diri).
Tulisan berikut akan memerikan persoalan pendidikan karakter, dimensi-dimensinya, serta peta persoalannya di Indonesia.
Pendidikan Kepribadian
Lain kali, jika anda memegang surat kabar, bacalah halaman depannya lantas bertanya pada diri sendiri, apakah bahasa dominan dalam tuturan artikel-artikel padanya.
”Aku kira kalian akan menemukan dua hal utama,” ujar Rushworth Kidder dari the Institute for Global Ethics, dan pengarang How Good People Make Tough Choices (1995). "Artikel-artikel surat kabar ditulis dalam bahasa politik atau bahasa ekonomi.” Bahasa politik, ujarnya, selalu bertanya, ‘siapa yang menang’ (who’s winning)? Bahasa ekonomi selalu bertanya, ‘dimana untungnya’ (where’s the bottom line)?
“Jika kita hendak maju secara budaya,” tambah Kidder, “sepatutnya mesti ada satu bahasa lagi dalam wacana publik, yang mempertanyakan, ‘apa yang benar’ (what’s right)?” Menurutnya, bahasa ini merupakan bahasa yang unik yang membuat kita tak terlalu nyaman membincangkannya. Dan untuk membuat kita nyaman berbincang dalam bahasa ini di masa depan, Kidder menekankan perluanya pendidikan karakter sejak dini.
Yang dimaksud dengan pendidikan karakter di sini adalah suatu payung istilah yang menjelaskan berbagai aspek pengajaran dan pembelajaran bagi perkembangan personal. Beberapa area di bawah payung ini meliputi “penalaran moral/pengembangan kognitif”; “pembelajaran sosial dan emosional”, “pendidikan/kebajikan moral”; “pendidikan keterampilan hidup”, “pendidikan kesehatan”; “pencegahan kekerasan”; “resolusi konflik”, dan “filsafat etik/moral”. Seperti diindikansikan oleh ragam istilah yang berkaitan dengan itu, pendidikan karakter bersifat luas dalam cakupan dan sulit untu didefinisikan secara tepat.
Pendidikan karakter menggarap pelbagai aspek dari pendidikan moral, pendidikan kewargaan, dan pengembangan karakter. Sifatnya yang multi-faceted membuatnya menjadi konsep yang sulit untuk diberikan di sekolah. Setiap komponen memberikan perbedaan tekanan tentang apa yang penting dan dan apa yang semestinya diajarkan.
Pendidikan moral menitikberatkan dimensi etis dari individu dan masyarakat serta memeriksa bagaimana standar-standar kebenaran dan kesalahan dikembangkan. Agama dan filsafat menyediakan fondasi untuk diskusi-diskusi moral dan pertimbangan-pertimbangan etis tentang bagaimana restorasi nilai-nilai kebajikan berlangsung di lingkungan sekolah.
Pendidikan kewargaan (civic education) memberikan kesempatan bagi keterlibatan aktif dalam proses-proses demokratis yang berlangsung di sekolah dan komunitas. Basis pengetahuannya mencakup prinsip-prinsip dan nilai-nilai demokrasi yang dapat digunakan oleh siswa untuk memeriksa hak-hak sipil dan tanggung jawab mereka serta untuk berpartisipasi dalam komunitas lokal demi kebajikan bersama. Watak sipil, karakteristik warga negara yang baik dalam sistem demokrasi diamati dan ditekankan baik dalam pembelajaran di kelas maupun dalam aktivitas ekstra kurikuler. 
Pengembangan karakter adalah suatu pendekatan holistik yang menghubungkan dimensi moral pendidikan dengan ranah sosial dan sipil dari kehidupan siswa. Sikap dan nilai dasar dari masyarakat diidentifikasi dan diteguhkan di sekolah dan komunitas. Pendidikan bersifat sarat nilai, karena masyarakat menentukan apa-apa yang akan dan tidak akan diteladani. Moral ditangkap (caught) bukan diajarkan (taught) dan kehidupan di ruang kelas jumbuh dengan makna moral yang membentuk karakter siswa dan perkembangan moral (Ryan, 1996: 75)
Dalam pendidikan karakter, komunitas sekolah mengidentifikasi nilai-nilai inti sekolah dan pekerjaan untuk mendidik dan meneguhkan nilai-nilai bersama dalam kehidupan siswa. Konsensus mesti dicapai untuk mengembangkan visi bersama tentang sifat-sifat karakter yang harus dipelihara. Sifat-sifat karakter ini harus merembesi lingkungan belajar siswa baik dalam kelas, jalan masuk, gimnasium, kafetaria, lapangan olah raga dan tempat-tempat lainnya. Sifat-sifat karakter merupakan bagian dari tatanan komunitas secara keseluruhan dan stakeholders menyusun model dari perlaku yang diharapkan. 
Pendidikan karakter seringkali diintroduksikan ke dalam kelas lewat medium kesusateraan dan studi kepahlawanan. Siswa memeriksa sifat-sifat karakter yang menjelma dalam diri para pahlawan itu. Studi seperti itu hanyalah bagian dari keseluruhan pendidikan karakter yang ditransformasikan menjadi ethos komunitas sekolah. Pada intinya, untuk menanamkan nilai-nilai dasar, siswa harus bisa menemukan teladan yang baik dalam semua aspek kehidupan sekolah. 
Thomas Lickona dalam buku terkenalnya, Educating for Character (1991), menyimpulkan bahwa pendidikan karakter adalah usaha sengaja untuk menolong orang agar memahami, peduli akan, dan bertindak atas dasar inti nilai-nilai etis. Ia menegaskan bahwa tatkala kita berfikir tentang bentuk karakter yang ingin ditunjukkan oleh anak-anak, teramat jelas bahwa kita menghendaki mereka mampu menilai apa yang benar, peduli tentang apa yang benar, serta melakukan apa yang diyakininya benar—bahkan ketika harus menghadapi tekanan dari luar dan godaan dari dalam.
Rushworth Kidder memerikan tujuk kualitas yang diperlukan untuk suatu program pendidikan karakter yang berhasil, yang ia sebut sebagai ”seven E’s”.
• Empowered (pemberdayaan). Guru-guru harus diberdayakan untuk mengajar pendidikan karakter, karena masyarakat kita menghendakinya. Opini publik menunjukkan dukungan yang luas bagi pendidikan karakter di sekolah dan kita harus meyakinkan para guru bahwa mereka sanggup melakukannya. 
• Effective (efektif). Adalah mungkin untuk mengajarkan pendidikan karakter secara efektif. Kidder menyatakan, “Kita memiliki segala bukti bahwa ketika kita melakukan intervensi dalam proses pendidikan karakter, siswa menjadi mengerti tentang banyak hal yang sebelumnya tak mereka pahami. Proses pendidikan yang diberikan benar-benar meningkatkan kemampuan penalaran moral mereka.” 
• Extended into the community (diperluas ke komunitas). Komunitas harus menolong sekolah untuk memahami nilai-nilai yang penting lantas mendukung program-programnya. “Jangan pernah mencoba menyusun program pendidikan karakter tanpa melibatkan komunitas terlebih dahulu, karena tatkala anda mulai menjalankan progam akan ada suara yang mempertanyakan, nilai-nilai siapa yang diajarkan? 
• Embedded (melekat). "Jangan memberikan pendidikan karakter secara terpisah; jangan menciptakan semacam ghetto etik yang menempatkan pendidikan karakter pada suatu sudut kurikulum. Integrasikan hal itu ke dalam seluruh rangkaian kurikulum dan proses pembelajaran. Guru tidak punya kemewahan waktu untuk mengajar matapelajaran etik tersendiri, tetapi mereka bisa memberikan pesan etik pada setiap matapelajaran. 
• Engaged (terlibat). "Buatlah komunitas terlibat dengan menyodorkan topik-topik yang mereka rasa sangat penting. Publik saat ini amat peduli pada soal-soal seperti sportsmanship, penipuan dan teknologi. Tatkala guru mengajarkan keterampilan komputer pada anak-anak, pertama-tama bicarakanlah segi-segi etik dalam menggunakan komputer, dan seterusnya. 
• Epistemological (Epistemologis). "Kembangkan kerangka konseptual, suatu cara untuk membicarakan soal etika. Berbuat lebih banyak ketimbang mengumpulkan anak-anak untuk membicangkan soal ide-ide moral. Mesti ada koherensi antara cara berfikir tentang makna etik dengan upaya menolong siswa untuk mampu menerapkannya secara baik.
• Evaluative (evaluatif). Buatlah beberapa struktur, seperti pre-tests dan post-tests, yang memungkinkan guru memetakan kemajuan siswa. Kidder menawarkan ‘skala lima poin’ yang bermula dari (1) kesadaran etik, lantas (2) kepercayaan diri untuk berpikir tentang, dan membuat keputusan etik, lantas (3) kapasitas untuk menggunakan kepercayaan diri itu secara praktis dalam kehidupan seseorang, lantas (4) kapasitas untuk menggunakan pengalaman praktis itu dalam komunitas, dan akhirnya (5) kapasistas untuk menjadi agen perubahan—untuk merealisasikan ide-ide etik ini dan menciptakan dunia yang berbeda. Guru bisa membawa siswa mengarungi tahap-tahap itu dan mengevaluasi di mana posisi mereka dalam tahapan tersebut.
Hal penting yang ditekankan di sini adalah pentingnya pertautan pengetahuan moral (moral judgement) dengan perilaku aktual (actual conduct) dalam situasi konkrit (moral situations). Adalah benar bahwa pengetahuan dan pemahaman moral adalah prasyarat bagi tindakan moral. Tidak seorangpun yang yang dapat bertindak atas dasar prinsip moral atau aturan tanpa terlebih dahulu memiliki kesadaran tentang hal itu. Masalahnya, keputusan moral sebagai tindakan aktual ditentukan dalam konteks situasi yang konkrit. Situasi moral yang berbeda bisa mempengaruhi keputusan tindakan moral yang berbeda.
“Cacat terbesar dari pendidikan moral secara tradisional,” kata Norman J. Bull (1973), “adalah penekanannya pada pengajaran prinsip-prinsip moral secara tertutup, dengan sedikit rujukan pada situasi-situasi yang konkrit.” Hal ini mengabaikan kenyataan bahwa terdapat keumuman dan kekhususan dalam kehidupan moral. Oleh karena itu, siswa harus diperkenalkan dengan pengalaman konkrit tentang bagaimana mengaplikasikan prinsip-prinsip moralitas yang umum itu ke dalam situasi yang spesifik, agar mereka tidak terjebak ke dalam keputusan dan tindakan moral yang bersifat hitam-putih. 
Akhirnya, patut dihayati nasihat Kidder yang menekankan pentingnya para pendidik untuk meyakini bahwa mereka, sebagai individu, sanggup membuat perbedaan. Beberapa orang yang pernah bangkit dari keterpurukan hidup seringkali menyebut perang penting seseorang, dan itu seringkali guru. Kekuatan dari keteladanan seseorang sungguh fenomenal. 
Pendidikan Berorientasi Meritokrasi
Pendidikan karakter seperti telah diuraikan tadi baru merespon satu dimensi pembentukan karakter, yakni segi kepribadian yang terkait dengan kualitas-kualitas moral, seperti keterpercayaan dan kejujuran. 
Masih ada dimensi lain dari karakter yang perlu juga diperhatikan dalam proses pendidikan, yakni kesadaran seseorang akan potensi dan kapasitasnya yang khas yang membedakan dirinya dari orang lain. Aktualisasi dari kesadaran ini adalah pemupukan keandalan khusus seseorang yang memungkinkannya memiliki daya tahan dan daya saing dalam perjuangan hidup. Keandalan ini berkaitan dengan optimalisasi ragam pontensi insani dengan peneguhan sistem meritokrasi yang memuliakan ragam inteligensia manusia. 
Dalam konteks ini, proses pendidikan terkait dengan budaya dan praksis demokrasi dalam skala makro kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahwa dalam sistem demokrasi proses perekrutan sumberdaya insani di segala lini idealnya tak bisa mengandalkan pada keturunan seperti dalam aristokrasi; tidak juga pada kekayaan bawaan seperti dalam plutokrasi; tetapi harus berjejak pada prestasi (merit) warga negara di segala bidang. Dengan kata lain, demokrasi menghendaki sistem rektrumen sumberdaya berdasarkan meritokrasi. 
Meritokrasi merupakan solusi atas nepotisme, kelembaman kepemimpinan serta daya saing bangsa. Tentang hal ini, Inggris memberi contoh terbaik. Hingga abad ke-18, Inggris terkenal sebagai rumah nepotisme. Sebagai negeri yang tidak pernah dijajah, tidak pernah sepenuhnya kalah dalam perang, dan tidak pernah diguncang revolusi politik, Inggris tak pernah berjeda untuk membuat awalan segar (fresh start). Akibat ketiadaan disrupsi ini, masyarakat Inggris tetap bermental pedesaan jauh setelah 80 persen penduduknya tinggal di kota. Dalam mental pedesaan inilah feodalisme bertahan, bersekutu dengan nepotisme. 
Beruntung, Inggris segera mendapat tekanan dari luar dan dalam. Tekanan dari luar datang dari persaingan dan perseteruan internasional. Peperangan antarbangsa, sebagai perwujudan sempurna kompetisi internasional, ternyata memberi desakan kuat bagi keharusan menghargai merit. Perang bukan saja mendorong penemuan teknologi, tetapi juga merangsang penggunaan sumber daya manusia secara lebih baik. Sejak Perang Dunia I, tes IQ diberlakukan guna merekrut personel-personel ketentaraan. Tantangan ini pada gilirannya mendorong reformasi di bidang pendidikan. 
Dari dalam, tekanan muncul dari menguatnya aspirasi-aspirasi sosialis yang melancarkan serangan terhadap segala jenis pengaruh keluarga terhadap dunia kerja. Aspirasi sosialis mempercepat tumbuhnya organisasi berskala besar yang mendorong promosi atas dasar merit. Mereka juga menuntut kesetaraan lebih besar dalam akses ke dunia pendidikan, lewat gagasan ”universal education” yang memberi akses pendidikan dan materi pelajaran yang sama bagi setiap warga. Akhirnya, dalam melawan kepemimpinan konservatif, kaum sosialis mengidentifikasi kesetaraan dengan perluasan meritokrasi (Young, 1994).
Pengalaman Inggris mengisyaratkan pergeseran dari nepotisme ke meritokrasi memerlukan perjuangan kuasa. Ide-ide sosialistik dibutuhkan sebagai pendobrak ketimpangan masyarakat yang ditimbulkan keturunan maupun kepemilikan. Perjuangan ini harus dimulai sejak dini, dalam akses orang terhadap dunia pendidikan. Seperti kata Pierre Bourdieu (1988), pendidikan memberikan bukan sekadar skemata bagi perbedaan kelas dan prinsip fundamental bagi pemapanan tertib sosial, tetapi juga menjadi katalis bagi perjuangan kuasa yang kompetitif. 
Pendidikan berorientasi meritokrasi harus menghilangkan diskriminasi manusia berdasar jenis inteligensia tertentu—yang membuat orang dengan inteligensia lain dianggap sampah masyarakat. 
Demokrasi pendidikan harus memberi ruang aktualisasi bagi keragaman inteligensia (multiple-intelligences) manusia, yang meliputi kecerdasan linguistik, logik-matematik, spasial, musik, kinestetik, interpersonal dan intrapersonal (Gardner, 1993). 
Orientasi pada pemuliaan ragam inteligensia mengandung konsekuensi bagi dunia pendidikan. Perlu ada perubahan pemahaman terhadap peserta didik. Bahwa sesungguhnya tidak ada manusia (siswa) sampah. Yang ada adalah, setiap siswa memiliki karakter dan potensi inteligensia yang berbeda-beda. 
Oleh karena itu perlu ada perubahan sistem pengajaran dari ”class-centered school” (sekolah berorientasi kelas) menuju ”individual-centered school” (sekolah berorientasi indvidu). Kurikulum inti (core curriculum) dibuat lebih terbatas untuk memberi keleluasaan bagi individu untuk mengambil matapelajaran pilihan (elective) sesuai dengan minat dan bakatnya. 
Konsekuennya fungsi guru bergeser dari peran tradisionalnya. Selain mengajar, guru harus berperan sebagai ‘spesialis penilai’ (assessment specialist) untuk memantau potensi dan kecenderungan masing-masing individu siswa; lalu berperan sebagai broker kurikulum yang membantu siswa memilih matapelajaran (student-curriculum broker); dan sekaligus menjadi broker yang menghubungkan siswa dengan komunitas yang lebih luas guna mendapatkan pengalaman belajar langsung dari dunia nyata (school-community broker). Akhirnya, guru juga harus diberi derajat kebebasan yang lebih besar untuk mengembangkan kreativitas dan inovasinya dalam proses pengajaran.
Alhasil, sekolah di masa depan dituntut untuk lebih menghargai keunikan dan otonomi individu serta mengembangkan iklim yang kondusif bagi pembentukan konsep diri yang positif. Pemuliaan terhadap aneka inteligensia dan pengembangan konsep diri yang positif ini bisa mendorong lahirnya manusia unggul di segala bidang dengan merit dan karakter yang tangguh. Yakni manusia yang memiliki keunggulan khas, dapat diandalkan, dan memiliki daya tahan dalam kesulitan dan persaingan. 
Persoalan dan kesimpulan bagi Indonesia
Dari tuntutan-tuntutan ideal dalam pendidikan karakter seperti yang dipaparkan di atas, menjadi terang peta bumi persoalan pendidikan karakter di tanah air ini. 
Sejauh menyangkut pendidikan kepribadian/budi pekerti, cacat yang paling jelas adalah verbalisme dengan lalu lintas komunikasi satu arah. Aneka bentuk pendidikan budi pekerti diberikan secara terfragmentasi dalam bentuk pelajaran khsusus, seperti pendidikan moral pancasila, seraya dilupakan integrasinya ke dalam keseluruhan matapelajaran dan proses pembelajaran. Pendidikan melalui suatu sudut kurikulum ini pun diringkas ke dalam formula ”menu siap saji”, berupa rangkaian paket jadi yang memberi siswa sedikit pilihan dan menumpulkan kapasitas moral judgement-nya. 
Guru juga cenderung mendedahkan prinsip-prinsip moral umum secara satu arah, tanpa melibatkan partisipasi siswa untuk bertanya dan mengajukan pengalaman empiriknya. Pengajaran moral/budi pekerti dilakukan secara terisolasi dengan tidak memberikan wahana kepada siswa suatu pengalaman terstuktur untuk menghubungkan moral judgment dan moral situations yang dihadapinya.
Sejauh menyangkut proses pendidikan yang berorientasi pemuliaan aneka potensi insani, arus demokratisasi yang berhembus bersama era reformasi ternyata tidak seiring dengan meritokrasi. Yang terjadi malahan sebaliknya, yakni fenomena mediokrasi, berupa peluluhan standar-standar keunggulan di segala bidang demi memberi tempat yang luas bagi orang rata-rata. 
Fenomeman mediokrasi ini berakar dari apa yang disebut Frank Furedi (2004) sebagai ”the cult of philistism”, pemujaan terhadap budaya kedangkalan oleh perhatian yang berlebihan terhadap interes-interes material dan praktis. Dunia pendidikan sebagai benteng kedalaman ilmu mengalami proses peluluhan kegairahan intelektual, tergerus oleh dominasi etos manajerialisme dan instrumentalisme; suatu etos yang menghargai seni, budaya dan pendidikan sejauh yang menyediakan instrumen untuk melayani tujuan-tujuan praktis.
Orang-orang yang mengobarkan kegairahan intelektual berisiko dicap sebagai ’’elitis’, ’tak membumi’, dan ’marjinal’. Kedalaman ilmu dihindari, kedangkalan dirayakan. Sekolah-sekolah berlomba memberi kemudahan bagi orang-orang malas dan ”pecundang” dari kalangan atas, dengan memarjinalkan akses orang-orang rajin dan unggul dari kalangan bawah.
Diskriminasi manusia atas dasar inteligensia juga begitu nyata di sini. Sistem penjurusan dan ujian nasional dibuat dengan menempatkan keunggulan dalam jenis inteligensia tertentu (terutama logik-matematik) sebagai ukuran utama untuk menempatkan orang sebagai warga negara kelas satu dan kelas dua. Pluralitas Indonesia dengan segala pluralitas potensi dan preferensi insaninya diabaikan oleh sentralisasi birokrasi pendidikan dalam budaya nir-demokratis dan involusi gagasan yang terus bertahan.
Dengan kegagalan yang nyata pada dua dimensi pendidikan karakter itu, nama Indonesia terkenal di pentas dunia karena kisah yang buruk: bangsa korup dengan moralitas yang lembek serta kapasistas daya saingnya yang terus merosot dalam kompetisi antar bangsa. 
Orang-orang harus dibangunkan. Kesadaran harus dihidupkan. Kejatuhan politik cuma kehilangan penguasa; kejatuhan ekonomi, cuma kehilangan sesuatu. Tapi kalau kejatuhan karakter, suatu bangsa kehilangan segalanya. Saatnya memperhatikan dan memperbaiki pendidikan karakter. 








Rujukan

Armstrong, K. 2006, The Great Transformation: The World in the time of Buddha, Socrates, Confucius and Jeremiah, Atlantic Books, London.
Bourdieu, P. 1988, Homo Academicus, terj. Peter Collier, Polity Press, Cambridge.
Bull, N. J. 1973, Moral Education, Routledge & Kegan Paul, London.
Furedi, F. 2004, Where have all the intellectuals gone?, Continuum, London.
Gardner, H. 1993, Multiple Intelligences: A Reader, BasicBooks, New York.
Kidder, K. 1995, How Good People Make Tough Choices, Morrow, New York
Lickona, T. 1991, Educating for character, Bantam Books, New York.
Ryan, K. 1996, "Character Education in the United States”, Journal For A Just And Caring Education, No. 2 (January 1996), pp. 75-84. 
Young, M. 1994, The Rise of the Meritocracy, Transaction Publishers, London.

HMI KOM TARBIYAH CABANG BANDAR LAMPUNG



Acara Kongres HMI  Di Depok








Pemira IAIN Raden Intan Lampung



Kader Tarbiyah Cab Bandar Lampung